Vidi Aldiano

Ramadhan tahun ini menjadi momen istimewa bagi Vidi Aldiano. Setelah empat tahun absen karena menjalani perawatan kanker ginjal, dia kembali merayakan ibadah puasa dengan penuh sukacita.

Meskipun dikenal dengan sifat cerianya dan aktif dalam kehidupan sosial, penyanyi berusia 33 tahun ini memiliki sisi spiritual yang jarang terungkap.

Vidi menceritakan kisahnya saat menjadi bintang tamu perancatoto dalam konten Youtube “Log In” yang dipandu oleh Habib Ja’far dan Onadio Leonardo, yang dipublikasikan pada Sabtu (16/3/2024). Dia membeberkan pengalaman spiritualnya yang menggugah.

Baca Juga : Tantri Kotak Menangis Mendengar Perjuangan Arda Naff dalam Mencapai Cintanya

Banyak yang mengira Vidi Aldiano baru-baru ini memeluk agama Islam, padahal sejak lahir dia telah beragama Islam. “Banyak yang berpikir saya baru saja masuk Islam, padahal saya sudah beragama Islam sejak kecil,” ucap Vidi, diikuti oleh tanggapan Habib Ja’far, “Saya juga berpikir begitu.”

“Memang tidak begitu maksud saya, saya mulai benar-benar merenungkan Tuhan pada sekitar tahun 2019,” jawab Vidi.

Reward dan Hukuman

Vidi Aldiano awalnya memandang agama sebagai transaksi. “Saya merasa tidak ada ruang untuk mempercayai dengan sepenuh hati. Sejak kecil saya diajarkan agama Islam di sekolah, saya diajari teknis-teknisnya dan tentang pahala serta hukuman dalam agama ini,” ungkap Vidi.

Dia menjelaskan bahwa pemahaman yang ditanamkan sejak kecil itu malah menimbulkan rasa takut. Seperti ketika mendapat nilai buruk di sekolah, yang membuatnya takut akan teguran dari orangtua. “Sama seperti ketika takut untuk tidak shalat, karena takut akan masuk neraka dan akan mendapat teguran dari orangtua,” tambahnya.

Apalagi, Vidi dibesarkan dalam keluarga yang taat beribadah. “Ibu saya sangat konservatif dalam menjalankan Islam. Sejak kecil, saya selalu dibangunkan untuk shalat Subuh, tidak pernah atas keinginan sendiri,” ungkapnya.

“Jadi, bagi saya shalat itu terasa sebagai kewajiban. Jika saya tidak shalat, ibu saya akan sedih atau marah. Itu terasa seperti hukuman bagi saya,” lanjutnya.

Dari situlah, Vidi merasa bahwa shalat hanyalah sekadar memenuhi kewajiban sebagai seorang Muslim, bukan memahami esensi dari shalat itu sendiri. Namun, ketika dewasa dan kuliah di luar negeri, ia mulai mencari tahu lebih dalam mengenai Tuhan.

Mengaku Sempat Agnostik

Selama menjalani pendidikan magister di Inggris, Vidi Aldiano bertemu dengan orang-orang dari berbagai keyakinan. Hal ini membuatnya penasaran akan alasan di balik pilihan kepercayaan mereka.

Sejak saat itu, dia mulai memperdalam pengetahuan tentang agama melalui bacaan. “Saat saya semakin memahami sejarah dari masing-masing agama, terutama Islam, saya merasa semakin jauh dari kepercayaan itu. Itu karena meskipun saya mendapatkan pengetahuan, tapi hati saya tidak terpenuhi,” kata Vidi.

“Akhirnya, untuk waktu yang cukup lama, saya merasa belum pernah mengungkapkan ini, saya akhirnya menjadi agnostik,” tambahnya.

Bagi Vidi, lebih sulit bagi dirinya untuk memahami keyakinan yang diberikan sejak lahir. Dia mengaku tidak bisa merasakan keyakinan itu dari dalam hatinya. Meskipun telah sukses dalam karier dan materi, dia merasa tidak bahagia. “Saya merasa memiliki segalanya, puas secara materi. Tapi saya merasa tidak bahagia sama sekali,” ujarnya.

Hingga Tumbuh Keyakinan

Ketika dihadapkan pada cobaan oleh Tuhan, dengan diagnosis kanker ginjal, dia merasa sangat terpuruk. “Saat saya berada di Singapura, dan besoknya harus menjalani operasi pengangkatan ginjal, saya berdoa. Saya merasa bingung. Sudah lama rasanya saya tidak berkomunikasi dengan cara Islam, namun saya merasa butuh,” cerita pria yang dijuluki Duta Persahabatan itu.

Dia membutuhkan petunjuk seolah dunianya runtuh. Terlebih lagi, dia merasa terpisah dari teman dan keluarganya.

Akhirnya, dia memutuskan untuk shalat dengan khusyuk. “Saya membaca dengan perlahan. Dan di tengah-tengah shalat itu, saya menangis sendirian di kamar hotel,” kata Vidi.

Hingga saat ini, perasaan itu masih membuatnya merinding dan mengingat momen itu. “Seperti momen pertama kali saya berbicara dengan seseorang yang sudah lama tidak saya bicarakan dan diskusikan bersama,”

“Hari itu, rasanya, saya sangat bersyukur atas penyakit dan momen itu. Karena jika tidak, saya merasa tidak memiliki koneksi itu, dan sampai sekarang, saya merasa cukup. Sejak hari itu, saya merasa shalat bukanlah sekadar kewajiban, melainkan tanda syukur saya,” pungkasnya.

Sumber : Liputan6

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *